Kamis, 11 Januari 2018

Pentingnya Penanaman Nilai Kejujuran Untuk Mengurangi Kebiasaan Menyontek #KATAUNJ16


Menyontek merupakan sesuatu yang dianggap sebagai tindakan tidak terpuji serta mengkhianati karakter, terutama kejujuran. Seperti apa yang diungkapkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Pustaka Pheonix, 2009), menyontek berasal dari kata sontek yang berarti melanggar, menocoh, menggocoh yang artinya mengutip tulisan, dan lain sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak.

Kebiasaan menyontek hadir dikarenakan berbagai faktor. Ada faktor dari dalam maupun dari luar. Faktor dari dalam dapat disebabkan kurangnya kesadaran atas kejujuran, ketidakupayaan untuk berusaha lebih, serta kurangnya rasa percaya diri dan yakin terhadap hasil kerja pribadi. Faktor dari luar yakni lingkungan yang cenderung memiliki paradigma bahwa seseorang akan lebih dihargai ketika memliki nilai yang tinggi ketimbang proses itu sendiri. Kegiatan mencontek pun ditempuh dengan berbagai cara. Hetherington dan Feldman (Anderman dan Murdock, 2007) mengelompokkan empat bentuk perilaku menyontek, yaitu: Individualistic-opportunistic dapat diartikan sebagai perilaku dimana siswa mengganti suatu jawaban ketika ujian atau tes sedang berlangsung dengan menggunakan catatan ketika guru atau guru keluar dari kelas. Independent- planned dapat diidentifikasi sebagai menggunakan catatan ketika tes atau ujian berlangsung, atau membawa jawaban yang telah lengkap atau telah dipersiapkan dengan menulisnya terlebih dahulu sebelum ujian berlangsung. Socialactive yaitu perilaku menyontek dimana siswa mengkopi, melihat atau meminta jawaban dari orang lain. Social-passive adalah mengizinkan seseorang melihat atau mengkopi jawabannya.

Kebiasaan mencontek di kalangan pelajar Indonesia bahkan dianggap sebagai hal yang lumrah saja. Terlebih mendekati musim ujian sekolah ataupun Ujian Nasional. Kasus terbesar dalam pelaksanaan UN 2015 adalah bocornya naskah soal di internet. Dari hasil verifikasi kala itu, ada 30 buklet dari 11.730 total buklet soal UN yang telah diunggah secara ilegal. Kejadian tersebut lantas membuat Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud) bertindak, yakni dengan berkoordinasi dengan Menkominfo untuk memblokir tautan Google yang berisi naskah soal UN itu. Koordinasi via telefon juga dilakukan dengan Google Inc dalam upaya pemblokiran. Hal tersebut mengakibatkan kunci jawaban diobral sana sini seolah menjadi peluang bisnis yang menjajikan. Padahal apabila ditelaah lagi secara logis, penjual kunci jawaban pun tidak ketahui identitas serta kapabiltasnya dalam membuat kunji jawaban. Mirisnya, pelajar atau pembeli kunci jawaban itu sendiri tidak memusingkan hal semacam itu, asalkan kunci jawaban didapat dan selamat.

Selain maraknya jual beli kunci jawaban, termyata pelaku kecurangan pun datang dari pihak sekolah itu sendiri, terutama guru. Menurut data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), terdapat tujuh jenis kecurangan yang terjadi di UN tahun ini. Data kecurangan tersebut berdasarkan laporan atas pelaksanaan UN di Lampung, Pontianak, Medan, Jakarta, Surabaya, dan Cikampek. Laporan yang masuk diperoleh dari pengaduan masyarakat di pos pemantauan UN. Kecurangan tersebut diantaranya yaitu ada laporan kecurangan sistemik di Lampung. Atas perintah kepala sekolah, guru memasuki ruangan dan membantu siswa mengerjakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Realitas yang demikian mirisnya seolah mencambuk pemikiran bahwa nilai-nilai korupsi sudah tertanam sejak dini di kalangan masyarakat Indonesia, terutama pelajar yang kelak menjadi penerus di masa yang akan datang. Kenyataan tersebut kembali mencabik wajah pendidikan Indonesia yang gagal mengedepankan nilai kejujuran dalam setiap lini kehidupan.

Dalam sebuah acara seminar di Universits Tadulako, Ketua KPK Abraham Samad menyatakan “Menyontek saat ujian, berarti tidak jujur, dan ini adalah cikal bakal dari kejahatan korupsi. Serta merupakan intellectual corruption atau korupsi intelektual,” tegas Dr. Abraham Samad. (Dikutip dari bcbrita.com). Karenanya, menyontek merupakan permasalahan yang harus diatasi dimulai dari mencabut akar-akar ketidakjujuran itu sendiri. Penanaman karakter kembali terutama penanaman nilai kejujuran di lingkungan sekolah maupun sosial sangat dibutuhkan sedari dini agar pelajar memiliki prinsip dan kesadaran akan hal tersebut. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Saat ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sistematik, dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak aka nada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, serta tanpa rasa percaya diri. Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis bahwa setiap orang dapat menyetujui nilai-nilai yang tidak mengandung politis, religious, atau bias budaya. Salah satunya adalah Trustworthiness (Kejujuran) yang merupakan pilar paling utama, yakni jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri, jadilah handal melakukan apa yang dikatakan akan dilakukan, melakukan hal yang benar, bangun reputasi yang baik, patuh, berdiri dengan keluarga , teman, dan negara. (Sistem Pendidikan Nasional). Thomas Lickona dalam bukui terkenalnya, “Educating for Character” (1991) menyimpulkan, pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong peserta didik agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Dalam hal ini, guru dan orang tua memainkan peran yang sangat vital. Guru sebagai pendidik memiliki tugas yang berat dalam upaya mengatasi kebiasaan mencontek di kalangan pelajar. Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh guru ialah memberikan motivasi pada siswa yang mencontek pada saat ujian agar siswa dapat bersikap jujur dalam menghadapi ujian dan menanamkan rasa percaya diri pada setiap siswa.

Penanaman nilai kejujuran bukan hanya tanggung jawab pemangku pendidikan di sekolah semata. Lebih dari itu, orang tua dan lingkungan yang merupakan stakeholder juga turut menyumbang pendididikan karakter, dimana karakter adalah sesuatu yang melekat dan terbentuk sedari dini mungkin. Oleh karena itu, penanaman nilai kejujuran kepada anak sedini mungkin merupakan hal yang penting dilakukan demi mengurangi kebiasaan menyontek di Indonesia. Seperti halnya sebuah ungkapan bahwa “Anak-anak berjumlah hanya sekitar 25% dari total populasi, tapi menentukan 100% dari masa depan.”


Purwo Besari

Manajemen Pendidikan 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Talk to us

Badan Penyelenggara Radio Siaran Educational Radio

Address:

Universitas Negeri JakartaGedung G Lantai 1 Ruang 101

Work Time:

Monday - Friday from 8am to 8pm

Phone:

0899-2107-7878